Diabetes
mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Data dari
studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2011
telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukam, jumlah
ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030. (S. K. Trisnawati & Setyorogo, 2013)
Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang diakibatkan dari kegagalan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Kronik hiperglikemia diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan diferensiasi organ terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Beberapa proses patogenik yang terlibat dalam pengembangan
diabetes. Ini berkisar dari kerusakan autoimun dari sekresi pancreas dengan konsekuen
kekurangan insulin untuk kelainan yang menghasilkan resistensi terhadap insulin
tindakan. Dasar dari kelainan pada metabolism karbohidrat, lemak, dan protein pada
diabetes adalah tindakan kekurangan insulin pada jaringan target. Hasil dari
sekresi insulin tidak memadai dan / atau respon jaringan berkurang insulin pada
satu atau lebih poin dalam jalur kompleks aksi hormon. Penurunan sekresi
insulin dan cacat dalam kerja insulin sering terjadi berdampingan pada pasien
yang sama, dan sering tidak jelas diantara kedua kelainan itu. Jika terdapat
salah satu diantara keduanya maka dipastikan sebagai penyebab utama
hiperglikemia. (Diabetes, 2010)
Ada beberapa jenis Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe
I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan Diabetes
Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling banyak diderita
adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah
penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan gulah darah akibat
penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi
insulin (resistensi insulin). (S. K. Trisnawati & Setyorogo,
2013)
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah
Sewaktu (GDS) ≥ 200
mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah
Puasa (GDP) ≥ 126
mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM.(W, 2007)
Hasil penelitian di Puskesmas Kecamatan Denpasar Selatan menunjukkan
bahwa terdapat dua variabel yang terbukti meningkatkan kejadian DM tipe 2 yaitu
obesitas berdasarkan lingkar pinggang dan umur. Sedangkan variabellain seperti
hipertensi, aktivitas fisik, merokok dan obesitas berdasarkan IMT tidak
terbukti dapat meningkatkan kejadian DM tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian
variabel umur ≥50dapat meningkatkan kejadian DM tipe 2 karena penuaan
menyebabkan menurunnya sensitivitas insulin dan menurunnya fungsi tubuh untuk metabolisme
glukosa. Didapatkan bahwa prevalensi DM pada kelompok usia tua lebih tinggi
tiga kali lipat dibandingkan dengan kelompok yang lebih muda. Variabel obesitas
berdasarkan lingkar pinggang dapat meningkatkan kejadian DM tipe 2. Diperoleh
hasil prevalensi obesitas berdasarkan lingkar pinggang sebesar 35%, pada
laki-laki dengan lingkar pinggang ≥90 cm sebesar 27,5% dan wanita dengan
lingkar pinggang ≥80 cm sebesar 43,4%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa obesitas
sentral khususnya di perut yang digambarkan oleh lingkar pinggang lebih sensitive
dalam memprediksi gangguan akibat resistensi insulin pada DM tipe 2.
Hipertensi pada hasil penelitian ini tidak terbukti meningkatkan
faktor risiko DM tipe 2 kemungkinan disebabkan oleh responden yangmenderita
hipertensi sudah mendapatkan pengobatan hal ini didukung dari hasil penelitian dimana
responden yang mempunyai riwayat hipertensi dan hasil pemeriksaan tekanan darahnya
≥140/90 mmHg sebanyak 12 orang semuanya mendapat terapi kaptopril.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak melakukan aktivitas fisik
terbukti tidak meningkatkan risiko terjadinya DM tipe 2, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari (seperti jalan ke
pasar, mencangkul, mencuci, berkebun) tidak dimasukkan melakukan aktivitas fisik.(S. Trisnawati, Widarsa, &
Suastika, 2013)
Komplikasi pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi
metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.
Di Amerika Serikat, DM merupakanpenyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness. Sejak ditemukan banyak
obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin,
angka kematian penderita diabetes akibat
komplikasi akut bisa menurun
drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat
dikontrol lebih lama.
Salah satu dari komplikasi Diabetes Melitus adalah kerusakan saraf
(Neuropati). Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu
otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan
organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan
saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi,
tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih.
Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan
saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak
berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan
saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik
dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan
impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya
kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.
Komplikasi selanjutnya adalah kerusakan ginjal (Nefropati). Ginjal
manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang
disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak
berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24
jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh
tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin
lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi,
maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada
penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.
Kerusakan mata (Retinopati) juga merupakan salah satu komplikasi
dari DM. Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanyadan menjadi penyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh
darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak
pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih beningndan
transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata.
Penyakit jantung koroner (PJK) juga salah satu dari komplikasi DM. Diabetes
merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang
rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang
dan tekanan darah
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya
lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita
diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama
sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh.
Komplikasi DM gangguan pada hati. Banyak orang beranggapan bahwa
bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa mengalam kerusakan hati
(liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri.
Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih
mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu,
penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular
dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan
sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang
hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada
penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir
50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena
bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.
Pasien DM lebih rentan
terkena Penyakit Paru. Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberculosis
paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru
akan menaikkan glukosa darah.
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang
mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah
terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan,
sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah
tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah
dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada
lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat- obatan yang diminum.
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena
infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit,
kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga
merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya
infeksi. (Ndraha, 2014)
Diabetes, D. O. F. (2010). Diagnosis and classification of
diabetes mellitus. Diabetes Care, 33(SUPPL. 1).
https://doi.org/10.2337/dc10-S062
Ndraha, S. (2014). Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana
Terkini. Medicinus, 27(2), 9–16.
Trisnawati, S. K., & Setyorogo, S. (2013). Faktor Risiko
Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta
Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1), 6–11.
Trisnawati, S., Widarsa, T., & Suastika, K. (2013).
Laporan hasil penelitian Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 pasien rawat
jalan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan Risk factors of type 2
diabetes mellitus of outpatients in the community health centres of South
Denpasar Subdistrict Metode, 1.
W, R. (2007). Diabetes Meliitus Usia Lanjut.
0 komentar:
Posting Komentar
Udah liat, kan postingan Cycy. Jadi jangan lupa comment ea. Ga minta uang kok. Hanya minta comentnya aja. Ok??
:D